Anugerah Mengingat dan Melupakan Kematian (Ustadz Sofyan RH. Zaid) - Andalusia Islamic Center

Anugerah Mengingat dan Melupakan Kematian (Ustadz Sofyan RH. Zaid)

Oleh Ustadz Sofyan RH. Zaid

Di mana pun kamu berada, kematian akan menemukanmu, kendati pun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kukuh, ..." (an-Nisa, 4:78)

Jika ada sesuatu yang ketika kita mengingat dan melupakannya adalah anugerah, itulah kematian. Bayangkan jika kita terus ingat bahwa kita akan mati sepanjang hidup, begitu tersiksanya kita! Bayangkan juga jika kita terus lupa bahwa kita akan mati, betapa angkuhnya kita.

Banyak tokoh mencoba mendefinisikan kematian berdasarkan sudut pandangnya masing-masing, misalnya Luper dalam The Philosophy of Death; kematian adalah berhentinya proses kehidupan (vital process) tanpa bisa dipulihkan lagi. Namun definisi yang paling sederhana adalah berpisahnya roh (yang immortal) dari tubuh (yang mortal) untuk selamanya. Pada hakikatnya kematian bukanlah kematian, melainkan gerbang untuk memasuki kehidupan selanjutnya. Dalam istilah Heidegger, yang menyebut manusia sebagai yang "terlempar" ke dalam kehidupan, kematian tidak seperti membaca buku yang sampai pada bab penutup lalu tamat. Kematian bukanlah akhir, tetapi awal.

Ada banyak jenis kematian, misalnya dalam khazanah tasawuf ada istilah "hati yang mati". al-Junaid menyindir orang yang hatinya mati sebagai mayat yang berjalan. Hati yang mati bila berdasar pada al-Ghazali adalah tidak hadirnya Allah di dalamnya. 5 Lain lagi dalam kajian filsafat, a kematian lebih dekat pada eksistensialisme, sehingga ada istilah a "kematian eksistensial", yakni mirip  dengan apa yang dituturkan Hume; Ketika diri tidak berguna lagi atau mengalami hidup yang buruk, tidak adil dan menderita, saat itu dia sudah mati. Itulah sebabnya bagi Hume pernah bercanda, bahwa bunuh diri tidak menyalahi anugerah Tuhan, karena "bisanya manusia untuk bunuh diri" adalah anugerah Tuhan juga. Terlepas dari berbagai bentuk kematian metaforis di atas, kematian sebagai suatu peristiwa memiliki dua bagan, yakni kematian personal dan kematian sosial: 1. Kematian personal adalah mati secara pribadi. Roh keluar dari tubuh menuju asalnya. Kapan dan di mana tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bisa lari jika waktunya tiba, tidak maju dan tidak pula mundur. Kematian sosial adalah kematian seorang manusia sebagai anggota keluarga atau masyarakat. Ada tangis, ada rasa kehilangan. Barangkali juga ada senyum, ada kebahagiaan ketika seseorang mati karena dia orang jahat yang meresahkan masyarakat.

Antara kematian personal da kematian sosial sebenarnya sa terkait. Kematian personal seseo tidak lantas menyebabk kematiannya secara sosial, itulah sebabnya menurut Damm, kemat seseorang itu butuh orang lain untuk mendeklarasikan kematianny barulah dia juga mati secara sosial. Orang yang bekerja di luar negeri lalu mati (secara personal), tidak ada saksi, tidak ada kabar, maka dia akan tetap dianggap hidup (secara sosial) di keluarga atau masyarakatnya untuk kemudian disebut menghilang dalam waktu lama, bukan mati. Begitu juga sebaliknya. Ternyata benar, kematian itu tidak sederhana. Tidak sesederhana perdebatan pemikiran antara Plato dan Aristoteles tentangnya. Seseorang bisa dengan damai mati secara personal, tetapi bisa jadi sangat ramai dan diributkan kematiannya secara sosial. Tidak ada yang mengerti benar kematian secara utuh, kecuali yang telah mengalaminya. Kematian tinggal di antara ingat dan lupa. Senantiasa mengintai menyeringai tiap waktu. Namun kita tidak perlu takut, karena manusia memang harus mati, sebab jika tidak, apa jadinya. Bayangkan jika kita menjadi Tithonus dalam cerita mitologi Yunani itu, mendapat anugerah (dari dewa) tidak bisa mati, tetapi tubuhnya terus menua. Kita hanya menunggu waktu untuk mati. Hidup ini pun sangat singkat, itu sebabnya kita harus berbuat banyak, dan "kita juga harus prihatin dengan kehidupan dunia ini dan bergembira dengan kematian," kata Socrates. Sebagaimana kelahiran, kematian adalah sesuatu yang biasa, hanya semoga saja, kita mati dengan indah, yakni membawa iman dan Islam.

*Penyair, editor, dan Mahasiswa Pascasarjana STEI Tazkia